Thursday, December 23, 2021

Apakah Ucapan Selamat Natal Masih Ada Perselisihan Diantara Ulama’?

 


Apakah Ucapan Selamat Natal Masih Ada Perselisihan Diantara Ulama’?

Pertanyaan:

Apa benar memberi ucapan “Selamat natal” masih ada perselisihan diantara para Ulama’?

Jawaban :

Yang menjadi perselisihan di antara Ulama’ adalah mengucapkan kata “Selamat” kepada Non Muslim, bukan ucapan selamat Natal.

Mengucapkan ucapan selamat kepada Non Muslim, selama arah ucapan “Selamat” tersebut tertuju pada hal-hal yang bersifat duniawi dan yang mengucapkan tidak memiliki rasa “Ridho/ Rela” dengan agama dari Non Muslim tersebut, maka seperti ini masih diperselisihkan para Ulama’.

Contoh ucapan “Selamat” kepada Non Muslim yang masih diperselisihkan para Ulama’ adalah seperti ucapan “Selamat” atas kelahiran anaknya, atas pernikahan nya, atas keberhasilan duniawinya dan lain sebagainya.

Hukum atas ungkapan “Selamat” atas hal di atas itulah para Ulama’ berselisih pendapat :

  1. Sebagian Ulama’ ada yang tetap meng-Haramkan nya
  2.  Sebagian Ulama’ yang lain ada yang me-Makruh kannya
  3.  Sebagian Ulama’ yang lain ada yang memper-Bolehkannya.

Sedangkan mengenai ucapan “Selamat Natal”, maka para Ulama’ sepakat menyatakan Haram, sebagaimana di nyatakan di dalam kitab “Ahkamu Ahlid Dzimmah”.

وأما التهنئة بشعائر الكفر المختصة به فحرام بالاتفاق مثل أن يهنئهم بأعيادهم وصومهم، فيقول: عيد مبارك عليك، أو تهنأ بهذا العيد، ونحوه

” Adapun ucapan selamat dengan Syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus dengan nya, maka hukumannya Haram dengan kesepakatan para Ulama’, seperti halnya mengucapkan Selamat kepada mereka (Non Muslim) dengan hari raya mereka atau puasa mereka, sehingga sampai berkata “Ied Mubarok Alaika” Selamat hari raya atasmu.”

Disitu juga di jelaskan bahwa orang yang mengucapkan “Selamat Natal” tidak terlepas dari salah satu dua hukum berikut :

• Haram
• Murtad

فهذا إن سلم قائله من الكفر فهو من المحرمات، وهو بمنزلة أن يهنئه بسجوده للصليب، بل ذلك أعظم إثما عند الله وأشد مقتا من التهنئة بشرب الخمر وقتل النفس وارتكاب الفرج الحرام ونحوه.

“Seandainya orang yang mengucapkan “Selamat Natal” itu masih selamat dari kekufuran, maka demikian itu tetap di anggap sebagai perkara yang di haramkan, dan ucapan itu sama saja dengan ucapan mengucapkan selamat atas menyembahnya mereka kepada Salib, bahkan ini adalah dosa yang terbesar disisi Allah swt.”

Dalam Madzhab Syafi’i sendiri, orang yang mengikuti acara natal atau mengucapkan “Selamat Natal” harus di Ta’zir (di hukum)

تتمة: يعزر من وافق الكفار في أعيادهم، ومن يمسك الحية، ويدخل النار ومن قال لذمي: يا حاج، ومن هنأه بعيد. [النجم الوهاج في شرح المنهاج، ٢٤٤/٩]

“Dikenakan hukum Takzir bagi orang yang berpartisipasi dengan orang kafir dalam merayakan hari raya mereka. dan juga orang memanggil dengan panggilan Haji kepada orang kafir Dzimmi, juga orang yang mengucapkan selamat terhadap hari raya mereka.

ويعزر من وافق الكفار في اعيادهم ومن قال لذمي يا حاج ومن هنأه بعيد . [مغني المحتاج إلى معرفة معاني ألفاظ المنهاج، ٥٢٦/٥]

“Dikenakan Hukum Takzir orang yang ikut berpartisipasi dengan orang kafir dalam merayakan hari raya mereka, dan juga dikenakam hukum Takzir bagi orang yang memanggil kafir Dzimmi dengan panggilan “Wahai haji” dan juga orang yang mengucapkan selamat atas hari raya mereka (Natal).”

فَرْعٌ: يُعَزَّرُ مَنْ وَافَقَ الْكُفَّارَ فِي أَعْيَادِهِمْ وَمَنْ يُمْسِكُ الْحَيَّاتِ، وَمَنْ يَدْخُلُ النَّارَ، وَمَنْ يَقُولُ لِذِمِّيٍّ يَا حَاجُّ . [حاشيتا قليوبي وعميرة، ٢٠٦/٤]

“Dikenakan hukum Takzir bagi orang yang ikut berpartisipasi dengan orang kafir dalam merayakan hari raya mereka.”

Referensi:

الإنصاف في معرفة الراجح من الخلاف للمرداوي ج ٤ ص ٢٣٤
قوله (وفي تهنئتهم وتعزيتهم وعيادتهم: روايتان) وأطلقهما في الهداية، والمذهب، ومسبوك الذهب، والمستوعب، والخلاصة، والكافي، والمغني، والشرح، والمحرر، والنظم، وشرح ابن منجا. إحداهما: يحرم. وهو المذهب. صححه في التصحيح. وجزم به في الوجيز، وقدمه في الفروع والرواية الثانية: لا يحرم. فيكره. وقدمه في الرعاية، والحاويين، في باب الجنائز. ولم يذكر رواية التحريم. وذكر في الرعايتين، والحاويين رواية بعدم الكراهة. فيباح وجزم به ابن عبدوس في تذكرته. وعنه: يجوز لمصلحة راجحة، كرجاء إسلامه. اختاره الشيخ تقي الدين. )

المحرر في الفقه على مذهب الإمام أحمد بن حنبل ج ٢ ص ١٨٥
وفي جواز تهنئتهم وتعزيتهم وعيادتهم روايتان ويدعى لهم إذا أجزناها بالبقاء وكثرة المال والولد ويقصد به كثرة الجزية – إلى قوله – ويمنعون من إظهار المنكر وضرب الناقوس وإظهار أعيادهم

أحكام أهل الذمة ج ١ ص ٤٤١

فصل، في تهنئتهم بزوجة أو ولد أو قدوم غائب أو عافية أو سلامة من مكروه ونحو ذلك، وقد اختلفت الرواية في ذلك عن أحمد فأباحها مرة ومنعها أخرى، والكلام فيها كالكلام في التعزية والعيادة ولا فرق بينهما، ولكن ليحذر الوقوع فيما يقع فيه الجهال من الألفاظ التي تدل على رضاه بدينه، كما يقول أحدهم: متعك الله بدينك أو نيحك فيه، أو يقول له: أعزك الله أو أكرمك إلا أن يقول: أكرمك الله بالإسلام وأعزك به ونحو ذلك، فهذا في التهنئة بالأمور المشتركة. وأما التهنئة بشعائر الكفر المختصة به فحرام بالاتفاق مثل أن يهنئهم بأعيادهم وصومهم، فيقول: عيد مبارك عليك، أو تهنأ بهذا العيد، ونحوه، فهذا إن سلم قائله من الكفر فهو من المحرمات، وهو بمنزلة أن يهنئه بسجوده للصليب، بل ذلك أعظم إثما عند الله وأشد مقتا من التهنئة بشرب الخمر وقتل النفس وارتكاب الفرج الحرام ونحوه.

Oleh Ustadz Zean Areev ( Staf Pengajar Pondok Pesantren Riyadhul Jannah Surakarta dan Alumni PP Sidogiri)  


Sunday, May 23, 2021

KEMULIAAN AKHLAK HABIB SOLEH

 


KEMULIAAN AKHLAK HABIB SOLEH

Beliau adalah orang yang rendah hati dan tidak pernah merasa dirinya sebagai orang yang patut untuk diistimewakan, Makan beliau sederhana, pakaian sederhana, tinggal di rumah sederhana yg terbuat dari bilik bambu.

Banyak habib, saudara, orang-orang kaya, datang kepadanya untuk merenovasi rumahnya, tapi beliau menolaknya dengan halus.

Kata beliau, "Jangan diapa-apakan ! Biarkan saja, saya takut
Rasulullah صلى الله عليه وسلم
Tidak datang lagi ke tempat ini. Saya setiap hari berjamaah shalat lima waktu dengan Rasulullah SAW di rumah ini. Jangan dibongkar rumah ini."

Dalam kesehariannya, beliau selalu melapangkan orang susah, membantu orang-orang yang dililit utang, membantu fakir miskin dan anak yatim, mempertemukan orang2 yg belum mendapatkan jodoh, mendamaikan orang2 yg berselisih.

Beliau sangat penyayang terhadap fakir miskin, para janda dan yatim piatu. Beliau gemar mengurusi segala kebutuhan mereka.

Beliau memiliki kebiasaan setiap selesai sholat subuh pergi ke stasiun Tanggul lalu masuk gerbong KA untuk memberikan minuman hangat gratis kepada para penumpang. Beliau juga gemar membagi-bagikan uang dan sembako kepada tetangga-tetangganya.

Beliau orang yang sangat dermawan. Tidak pernah menolak seorang pun yang meminta-minta. Seorang ulama mengatakan, seandainya beliau tak memiliki apapun kecuali ruhnya, maka beliau pun akan menyerahkanya kepada yang memintanya. Beliau sangat tawadhu'.

Beliau senantiasa mendahului meminta ma’af kepada orang-orang disekitarnya, bahkan kepada putra-putra dan cucu- cucunya. Beliau melayani dan memuliakan para tamunya. Beliau tidak akan menyentuh hidangan sebelum tamunya mengambilnya terlebih dahulu. Beliau menimba sendiri air dari sumur untuk keperluan mandi dan wudhu para tamunya.
-----------
Allahumma Sholli Alaa Sayyidina Muhammad Wa Aalihi Wa Shohbihi Wasallim.

Tuesday, November 10, 2020

DIA YANG COBA DIKUCILKAN DAN DIKECILKAN

 


Dia yang tak boleh disebut namanya di medsos.

Dia yang tak boleh diunggah fotonya di medsos

Dia yang terpaksa penyebutan namanya disamarkan

Dia yang terpaksa pada foto wajahnya stiker ditempelkan

Itu semua upaya luar biasa
Untuk mengecilkan figurnya
Setelah selama dua setengah tahun lamanya Coba dikucilkan di Saudi Arabia

Dikucilkan, beliau tak jadi terkucil,

Kunjungan justru membanjir
Jamaah umroh selalu menyempatkan mampir
Sekedar berfoto dan silaturahim

*

Dikecilkan, beliau bukannya jadi kerdil

Dari mana-mana massa terus mengalir

Hotel yang berbulan-bulan tak ada yang mampir, Kini mendadak banyak tamu yang hadir

*

Ada seorang Menko yang sempat nyinyir

Beliau bukanlah orang suci, katanya

Pendukungnya tidak banyak jumlahnya

Jadi mestinya tak perlu khawatir

*

Tapi lihatlah suasana di bandara
Polisi dan tentara dimana-mana,

Setiap sudut tak luput dari pasukan penjaga,

Kenapa pula aparat yang dikerahkan ribuan jumlahnya?

*

Maasyaa Allah, sungguh luar biasa, Atas ijinMU, Yaa Robb kami Yang Maha Kuasa
Engkau telah bukakan mata kami semua,

Siapa sesungguhnya yang lebih mulia

*

Ada banyak cara menyambut kedatangannya

Tak ketinggalan pula emak-emak paruh baya

Mereka datang secara swadaya
Membawa peralatan masak yang mereka punya

*

Baru kali ini di dekat bandara
Ada dapur umum meski tak ada bencana

Mereka memasak sejak pagi buta

Untuk menjamu para pengawal dan penjemput Habibana

*

Wahai engkau profesor yang nyinyir.

Kau tuduh massa dimobilisir
Padahal, siapa yang mampu galang jutaan massa
Tanpa dibayar, semuanya swadaya

*

Dia yang coba dikucilkan
Dia yang coba dikerdilkan
Dia yang terus dikecilkan
Oleh kalian yang sejatinya berjiwa kerdil

*

Esok hari semua menanti
Kameraman stasiun televisi
Bidikan lensa para pewarta
Semua akan merekam fakta

*
Jangan terlena dan hanyut dalam euphoria

Tetaplah waspada dan selalu siaga

Provokasi dan rekayasa mungkin saja ada
Agar mereka bisa mengkriminalisasi Habibana

*

Tidak, mereka tak akan membuat beliau celaka
Mencelakai Habibana terlalu besar resikonya

Menyebar jerat untuk mencari kesalahannya, Lebih masuk akal kelihatannya

*

Ahlan wa sahlan yaa Habibana
Biarkan semua mata melihat fakta

Agar tidak ada lagi dusta diantara kita

Siapa sesungguhnya yang menebar fitnah dan mengarang dusta

*

Ahlan wa sahlan yaa Habibana
Kami tunggu komando darimu
Revolusi akhlak yang kau gemakan

Insyaa Allah kedzhaliman kita kalahkan.

= IO =
Iramawati Oemar


Saturday, June 8, 2019

KISAH KIAI BAHAR SDOGIRI DAN SYAIKHONA KHOLIL BANGKALAN



#Hikayat
KIAI BAHAR SIDOGIRI: MEMBUAT SYAIKHONA KHOLIL BANGKALAN MENETESKAN AIR MATA SAMPAI 7 TURUN DARI KETURUNAN BELIAU HARUS MONDOK DI SIDOGIRI

Kiai Bahar bin Norhasan bin Noerkhotim mondok di pesantren Syaikhona Kholil Bangkalan pada umur 9 atau 12 tahun. Di antara teman seperiode beliau ketika mondok di Bangkalan adalah KH Manaf Abd Karim, pendiri Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur. Tidak banyak keterangan tentang bagaimana Kiai Bahar saat nyantri di Bangkalan, baik tahun atau kegiatan kesehariannya. Namun kisah yang masyhur adalah tentang beliau ditakzir dan “diusir” oleh gurunya.

Alkisah, ketika Bahar kecil mondok di pesantren Syaikhona Kholil, beliau bermimpi tidur dengan istri Syaikhona Kholil. Pagi harinya (versi lain waktu Subuh) Syaikhona Kholil keluar dengan membawa pedang (versi lain golok tumpul) sambil marah-marah pada santrinya.

“Korang ajer! Sapah malemmah tedung bereng bi’ tang bineh. Ayoh ngakoh! Sapah malemmah tedung bereng bi’ tang bineh?! (Kurang ajar! Siapa tadi malam yang tidur dengan istri saya? Ayo mengaku! Siapa yang tadi malam tidur dengan istri saya?!),” kata Syaikhona Kholil dalam bahasa Madura.

Semua santri ketakutan dan tidak ada yang berani menjawab, karena mereka merasa tidak melakukannya. Lalu Syaikhona Kholil menyuruh mereka berjalan dua-dua (bergandengan) di depan beliau.

“Ayuh keluar wek-duwek! (Ayo keluar dua-dua!),” bentak Syaikhona Kholil yang terkenal keras itu.

Para santri pun keluar secara bergandengan. Namun, santri yang terakhir tidak ada gandengannya. Syaikhona Kholil yang mengetahui hal itu heran dan berkata, “Leh, riyyah kemmah berengah? (Lah, ini mana gandengannya?).”

“Sobung Kiaeh (tidak ada Kiai),” jawab santri yang tanpa pasangan tersebut dengan gemetar.

“Paleng se ngetek jiah se tedung bi’ tang bineh! Ayuh sare’en, sare’en! (Mungkin yang bersembunyi itu yang tidur dengan istri saya! Ayo cari, cari!),” perintah beliau.

Segera semua santri (yang waktu itu berjumlah 20 orang) mencari Bahar kecil yang bersembunyi di biliknya (kamar) karena merasa bersalah dengan mimpi yang dialaminya. Akhirnya Bahar kecil ditemukan dan dibawa ke hadapan Syaikhona Kholil. Dengan berterus terang, Bahar kecil menceritakan apa yang dialaminya itu, “Enggi kauleh Kiaeh, keng kauleh nekah mempeh! (Ya, memang saya yang melakukannya Kiai, tapi cuma mimpi!).”

Setelah mendengarkan penuturan santrinya itu, Syaikhona Kholil menghukumnya dengan disuruh menebang pohon-pohon bambu (barongan) di belakang dalem (rumah) dengan pedang tumpul yang sejak tadi dalam genggaman beliau.

“Setiah be’en etindak bi’ engko’! Barongan se bedeh neng budinah romah ruah ketok kabbi sampek berse! Jek sampek bedeh karenah tekkaah daun settong! (Sekarang kamu saya tindak. Rumpun bambu yang ada di belakang rumah saya itu tebang semua sampai bersih! Jangan sampai ada sisanya, meskipun selembar daun!),” kata beliau.

Dalam riwayat lain, Syaikhona Kholil mengatakan, “Reng-perreng poger kabbih, seareh koduh mareh! (Bambu-bambu itu tebang semua, sehari harus selesai).” Ajaib, ternyata Bahar kecil bisa merampungkannya setengah hari.

Setelah selesai dari tugasnya, Bahar kecil pergi menghadap Syaikhona Kholil, untuk melaporkan hasil pekerjaannya. Syaikhona Kholil yang melihatnya menghadap bertanya dengan nada tinggi, “Mareh (sudah)?!”

Bahar kecil menjawab singkat, “Enggi, ampon (Iya, sudah)” sambil menyerahkan kembali pedang yang dibawanya tadi.

Setelah itu, Syaikhona Kholil mengajaknya ke dalam suatu ruangan yang di dalamnya tersedia beberapa talam penuh nasi, lengkap dengan lauk-pauknya, yang konon cukup untuk makan 40 orang. Ternyata Syaikhona Kholil menyuruhnya menghabiskan semuanya.

“Setiah, riyyah kakan patadek! Jek sampek tak epetadek. Mon sampek tak apetadek, e padhdheng been! (Sekarang, makan ini sampai habis! Jangan sampai tidak dihabiskan. Kalau tidak dihabiskan, saya tebas kamu!),” perintahnya dengan nada mengancam.

Secara akal, tidak mungkin satu orang bisa menghabiskan makanan sebanyak itu. Tetapi ternyata Bahar kecil bisa memakan semuanya sampai habis dalam waktu singkat.

Setelah selesai, Syaikhona Kholil membawanya ke ruangan lain yang penuh dengan aneka buah-buahan.

“Setiah, riyyah petadek! (Sekarang, habisakan ini!),” perintah beliau. Segera Bahar kecil melaksanakan perintah gurunya. Buah-buahan dalam ruangan itu pun habis dalam waktu singkat.

Setelah itu, Bahar kecil diajak keluar dari ruangan itu oleh Syaikhona Kholil dengan menangis. Bahar kecil tidak mengerti, kenapa gurunya menangis.

“Tang elmoh la epatadek bi’ Mas Bahar. Wes lah kakeh moleh (Ilmuku sudah dihabiskan oleh Mas Bahar. Sudah pulanglah kamu!),” kata Syaikhona Kholil kepada Bahar kecil seraya mengusap air matanya. Nasi, lauk-pauk, serta buah-buahan merupakan isyarah akan aneka macam ilmu Syaikhona Kholil.

Riwayat lain menyebutkan bahwa Syaikhona Kholil berkata, “Engkok nyareh elmoh neng Sidogiri payah, setia lah ekoneiin pole (Saya menacari ilmu ke Sidogiri dengan susah payah, sekarang sudah dijemput [baca: diambil] kembali).”

Dan sebagian riwayat menyebutkan, setelah Bahar kecil selesai membabat pohon bambu, beliau disiram/dimandikan oleh Syaikhona Kholil. Ketika disiram, beliau melafalkan niat wudhu. Setelah itu Syaikhona Kholil menyuruh beliau pulang ke Sidogiri.

Saat Bahar kecil pulang ke Sidogiri, Syaikhona Kholil mengikutsertakan 7 santrinya dari Madura untuk menjadi santri Bahar kecil. Masa mondok Bahar kecil kepada Syaikhona Kholil adalah seminggu, atau kurang dari satu bulan. Setelah pulang, Bahar kecil langsung menjadi Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri. Karena usianya yang sangat muda Bahar kecil dikenal dengan sebutan Kiai Alit (dalam bahasa Jawa, “alit” berarti “kecil”).

Menurut riwayat, setelah peristiwa itu, Syaikhona Kholil Bangkalan pernah berkata tentang Sidogiri, “Tujuh turun dari keturunan saya harus mondok di Sidogiri.” 

Disarikan dari buku "Jejak Langkah 9 Masyayikh Sidogiri 2" diterbitkan oleh Sidogiri Penerbit.

#LAZSidogiri #Santri #Sidogiri #SyaikhonaKholil #Bangkalan #BerakhlakBermartabat

Tuesday, January 15, 2019

Kisah Wali Songo " SUNAN GIRI (Joko Samudra) "


KISAH SUNAN GIRI (Joko Samudra)
SELAMA 40 hari, Raden Paku bertafakur di sebuah gua. Ia bersimpuh, meminta petunjuk Allah SWT, ingin mendirikan pesantren. Di tengah hening malam, pesan ayahnya, Syekh Maulana Ishak, kembali terngiang: ”Kelak, bila tiba masanya, dirikanlah pesantren di Gresik.” Pesan yang tak terlalu sulit, sebetulnya.
Tapi, ia diminta mencari tanah yang sama persis dengan tanah dalam sebuah bungkusan ini. Selesai bertafakur, Raden Paku berangkat mengembara. Di sebuah perbukitan di Desa Sidomukti, Kebomas, ia kemudian mendirikan Pesantren Giri. Sejak itu pula Raden Paku dikenal sebagai Sunan Giri. Dalam bahasa Sansekerta, ”giri” berarti gunung.
Namun, tak ada peninggalan yang menunjukkan kebesaran Pesantren Giri –yang berkembang menjadi Kerajaan Giri Kedaton. Tak ada juga bekas-bekas istana. Kini, di daerah perbukitan itu hanya terlihat situs Kedaton, sekitar satu kilometer dari makam Sunan Giri. Di situs itu berdiri sebuah langgar berukuran 6 x 5 meter.
Di sanalah, konon, sempat berdiri sebuah masjid, tempat Sunan Giri mengajarkan agama Islam. Ada juga bekas tempat wudu berupa kolam berukuran 1 x 1 meter. Tempat ini tampak lengang pengunjung. ”Memang banyak orang yang tidak tahu situs ini,” kata Muhammad Hasan, Sekretaris Yayasan Makam Sunan Giri, kepada GATRA.
Syahdan, Pesantren Giri terkenal ke seluruh penjuru Jawa, bahkan sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Menurut Babad Tanah Jawi, murid Sunan Giri juga bertebaran sampai ke Cina, Mesir, Arab, dan Eropa. Pesantren Giri merupakan pusat ajaran tauhid dan fikih, karena Snan Giri meletakkan ajaran Islam di atas Al-Quran dan sunah Rasul.
Ia tidak mau berkompromi dengan adat istiadat, yang dianggapnya merusak kemurnian Islam. Karena itu, Sunan Giri dianggap sebagai pemimpin kaum ”putihan”, aliran yang didukung Sunan Ampel dan Sunan Drajat. Tapi, Sunan Kalijaga menganggap cara berdakwah Sunan Giri kaku. Menurut Sunan Kalijaga, dakwah hendaklah pula menggunakan pendekatan kebudayaan.
Misalnya dengan wayang. Paham ini mendapat sokongan dari Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Jati. Perdebatan para wali ini sempat memuncak pada peresmian Masjid Demak. ”Aliran Tuban” –Sunan Kalijaga cs– ingin meramaikan peresmian itu dengan wayang. Tapi, menurut Sunan Giri, menonton wayang tetap haram, karena gambar wayang itu berbentuk manusia.
Akhirnya, Sunan Kalijaga mencari jalan tengah. Ia mengusulkan bentuk wayang diubah: menjadi tipis dan tidak menyerupai manusia. Sejak itulah wayang beber berubah menjadi wayang kulit. Ketika Sunan Ampel, ”ketua” para wali, wafat pada 1478, Sunan Giri diangkat menjadi penggantinya. Atas usulan Sunan Kalijaga, ia diberi gelar Prabu Satmata.
Diriwayatkan, pemberian gelar itu jatuh pada 9 Maret 1487, yang kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Gresik. Di kalangan Wali nan Sembilan, Sunan Giri juga dikenal sebagai ahli politik dan ketatanegaraan. Ia pernah menyusun peraturan ketataprajaan dan pedoman tata cara di keraton. Pandangan politiknya pun dijadikan rujukan.
Menurut Dr. H.J. De Graaf, lahirnya berbagai kerajaan Islam, seperti Demak, Pajang, dan Mataram, tidak lepas dari peranan Sunan Giri. Pengaruhnya, kata sejarawan Jawa itu, melintas sampai ke luar Pulau Jawa, seperti Makassar, Hitu, dan Ternate. Konon, seorang raja barulah sah kerajaannya kalau sudah direstui Sunan Giri.
Pengaruh Sunan Giri ini tercatat dalam naskah sejarah Through Account of Ambon, serta berita orang Portugis dan Belanda di Kepulauan Maluku. Dalam naskah tersebut, kedudukan Sunan Giri disamakan dengan Paus bagi umat Katolik Roma, atau khalifah bagi umat Islam. Dalam Babad Demak pun, peran Sunan Giri tercatat.
Ketika Kerajaan Majapahit runtuh karena diserang Raja Girindrawardhana dari Kaling Kediri, pada 1478, Sunan Giri dinobatkan menjadi raja peralihan. Selama 40 hari, Sunan Giri memangku jabatan tersebut. Setelah itu, ia menyerahkannya kepada Raden Patah, putra Raja Majapahit, Brawijaya Kertabhumi.
Sejak itulah, Kerajaan Demak Bintoro berdiri dan dianggap sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa. Padahal, sebenarnya, Sunan Giri sudah menjadi raja di Giri Kedaton sejak 1470. Tapi, pemerintahan Giri lebih dikenal sebagai pemerintahan ulama dan pusat penyebaran Islam. Sebagai kerajaan, juga tidak jelas batas wilayahnya.
Tampaknya, Sunan Giri lebih memilih jejak langkah ayahnya, Syekh Maulana Ishak, seorang ulama dari Gujarat yang menetap di Pasai, kini Aceh. Ibunya Dewi Sekardadu, putri Raja Hindu Blambangan bernama Prabu Menak Sembuyu. Kisah Sunan Giri bermula ketika Maulana Ishak tertarik mengunjungi Jawa Timur, karena ingin menyebarkan agama Islam.
Setelah bertemu dengan Sunan Ampel, yang masih sepupunya, ia disarankan berdakwah di daerah Blambangan. Ketika itu, masyarakat Blambangan sedang tertimpa wabah penyakit. Bahkan putri Raja Blambangan, Dewi Sekardadu, ikut terjangkit. Semua tabib tersohor tidak berhasil mengobatinya.
Akhirnya raja mengumumkan sayembara: siapa yang berhasil mengobati sang Dewi, bila laki-laki akan dijodohkan dengannya, bila perempuan dijadikan saudara angkat sang dewi. Tapi, tak ada seorang pun yang sanggup memenangkan sayembara itu. Di tengah keputusasaan, sang prabu mengutus Patih Bajul Sengara mencari pertapa sakti.
Dalam pencarian itu, patih sempat bertemu dengan seorang pertapa sakti, Resi Kandayana namanya. Resi inilah yang memberi ”referensi” tentang Syekh Maulana Ishak. Rupanya, Maulana Ishak mau mengobati Dewi Sekardadu, kalau Prabu Menak Sembuyu dan keluarganya bersedia masuk Islam. Setelah Dewi Sekardadu sembuh, syarat Maulana Ishak pun dipenuhi.
Seluruh keluarga raja memeluk agama Islam. Setelah itu, Dewa Sekardadu dinikahkan dengan Maulana Ishak. Sayangnya, Prabu Menak Sembuyu tidak sepenuh hati menjadi seorang muslim. Ia malah iri menyaksikan Maulana Ishak berhasil mengislamkan sebagian besar rakyatnya. Ia berusaha menghalangi syiar Islam, bahkan mengutus orang kepercayaannya untuk membunuh Maulana Ishak.
Merasa jiwanya terancam, Maulana Ishak akhirnya meninggalkan Blambangan, dan kembali ke Pasai. Sebelum berangkat, ia hanya berpesan kepada Dewi Sekardadu –yang sedang mengandung tujuh bulan– agar anaknya diberi nama Raden Paku. Setelah bayi laki-laki itu lahir, Prabu Menak Sembuyu melampiaskan kebenciannya kepada anak Maulana Ishak dengan membuangnya ke laut dalam sebuah peti.
Alkisah, peti tersebut ditemukan oleh awak kapal dagang dari Gresik, yang sedang menuju Pulau Bali. Bayi itu lalu diserahkan kepada Nyai Ageng Pinatih, pemilik kapal tersebut. Sejak itu, bayi laki-laki yang kemudian dinamai Joko Samudro itu diasuh dan dibesarkannya. Menginjak usia tujuh tahun, Joko Samudro dititipkan di padepokan Sunan Ampel, untuk belajar agama Islam.
Karena kecerdasannya, anak itu diberi gelar ”Maulana `Ainul Yaqin”. Setelah bertahun-tahun belajar, Joko Samudro dan putranya, Raden Maulana Makhdum Ibrahim, diutus Sunan Ampel untuk menimba ilmu di Mekkah. Tapi, mereka harus singgah dulu di Pasai, untuk menemui Syekh Maulana Ishak.
Rupanya, Sunan Ampel ingin mempertemukan Raden Paku dengan ayah kandungnya. Setelah belajar selama tujuh tahun di Pasai, mereka kembali ke Jawa. Pada saat itulah Maulana Ishak membekali Raden Paku dengan segenggam tanah, lalu memintanya mendirikan pesantren di sebuah tempat yang warna dan bau tanahnya sama dengan yang diberikannya.
Kini, jejak bangunan Pesantren Giri hampir tiada. Tapi, jejak dakwah Sunan Giri masih membekas. Keteguhannya memurnikan agama Islam juga diikuti para penerusnya. Sunan Giri wafat pada 1506 Masehi, dalam usia 63 tahun. Ia dimakamkan di Desa Giri, Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik, Jawa Timur.

Monday, September 3, 2018

BELAJAR DARI SELEMBAR UANG KERTAS

UANG 2.000
Amienulloh.alfaesh93@gmail.com
Uang kertas Rp 2.000 VS Uang Kertas Rp 100.000
dibuat dari kertas yg sama dan diedarkan
oleh Bank Indonesia (BI)
Ketika dicetak,
mereka_pun bersama,
tetapi berpisah di bank
dan kemudian beredar di masyarakat...


Bagaimanapun, 4 bulan Kemudian mereka bertemu scara tdak Sengaja
di dalam dompet Seorang pemuda.
Maka mereka
pun ngobrol ;
Uang Rp 100,000 bertanya kepada Rp 2,000 ;
"Kenapa badan kamu begitu lusuh, kotor
dan berbau amis,,?"
Uang Rp 2,000 menjawab;
"Karena begitu aku keluar dari bank, aku dibawa ke tangan orang bawah dari kalangan buruh,
penjaja Kecil, penjual ikan, tukang parkir dan
di tangan Pengemis"
Lalu Uang Rp 2,000 bertanya balik kepada Uang Rp 100,000 ;
"Kenapa kau begitu baru, rapi dan masih bersih?"
Uang Rp 100,000 menjawab ;
"Karena begitu aku keluar dari bank,
terus disambut para perempuan cantik, laki laki berjas dan berdasi dan beredarnya pun
di restoran mahal, di kompleks perkantoran, di Pasar raya, mall bergengsi dan juga hotel berbintang, Serta keberadaanku
selalu dijaga dan jarang keluar dari dompet."
Lalu Uang Rp 2,000 bertanya lagi ;
"Pernahkah engkau berada di tempat ibadah,,?"
Uang Rp 100,000 menjawab ;
"Belum pernah"
Uang Rp 2,000 pun berkata lagi ;
"Ketahuilah walaupun aku hanya Uang Rp 2,000 tetapi aku selalu berada di seluruh tempat ibadah, dan di tangan Anak Yatim Piatu dan fakir miskin bahkan aku bersyukur kepada Tuhan semesta alam... Aku tidak dipandang Sebagai Sebuah nilai, tetapi Sebuah Manfaat...
Lantas menangislah Uang Rp 100,000
karena merasa besar,
karena merasa hebat,
karena merasa tinggi,
akan tetapi tidak begitu bermanfaat untuk
Kebaikan selama ini...
Semoga cerita ini dapat memberi pembelajaran dan Inspirasi Positif kepada kita semua..

Sunday, July 15, 2018

Arab atau Islam ?



Arab
...
Kenapa ‘Arab’ mereka benci? Tanyakan kepada mereka yang katanya mencintai budaya pribumi. Orang pakai gamis dan sorban dicaci, kenapa bukan jas sepatu dan dasi? Cadar dan niqab dimaki, kenapa bukan hot pants, bikini, dan rok mini?
Kenapa pakaian ketat nyaris telanjang yg digemari? Kenapa rambut pirang dan baju berlubang yg mereka senangi?  Ada apa dengan kata-kata ana, ente, abi, dan ummi? Kenapa move on, valentine, lo, gue, bokap dan nyokap tak mereka kritisi? Padahal semuanya bukan kearifan lokal asli.
Kalau begitu katakan saja mampus buat orang mati. Katakan bangkai jangan al marhum bagi mereka yang anti. Dibungkus saja jangan dikafani. Ditimbun saja jangn dikubur bagi yang alergi. Dinyanyikan lagu saja mereka tanpa dishalati.
Ingatlah Bangsa Arab adalah bangsa Nabi. Arab adalah bahasa kitab suci. Bahasa Arab adalah bahasa penghuni surga nanti. Begitulah kata hadis riwayat Imam Thabrani dan Baihaqi. Nabi juga pernah mewanti-wanti, jika Arab hina makan Islam juga akan hina tak punya reputasi.
Rasulullah pernah berpesan kepada Salman Alfarisi. Dia bukan Arab tapi seorang sahabat Ajami dari Persi, ”Wahai Salman jangan sampai diriku kau benci, berarti agamamu telah kau pisahi”. “Wahai baginda, hal itu tidak akan terjadi, melaluimu hidayah ini kudapati”.
Nabi menimpali, “Jika Arab kau benci, berararti kepada diriku kau antipati.” Demikian isyarat hadis nabi dari Imam Tirmidzi.

Sebenarnya Arab atau Islam yang ingin mereka habisi?